Rabu, 20 April 2011

kekuatan sabar

Secara etimologis, sabar berarti menahan, seperti kata, “Qutila fulanun shobr”, artinya, “si Fulan terbunuh dalam keadaan ditahan”. Oleh karenanya, seseorang yang menahan diri terhadap sesuatu dikatakan orang yang sabar.
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 45).
Menurut Ibnu Jarir, redaksi ayat itu memang memperingatkan Bani
Israel
, namun yang dimaksud bukan mereka semata. Ayat ini mencakup mereka dan orang-orang selain mereka.
Ibnul-Mubarak berkata dengan sanadnya dari Said bin Jubeir, “Sabar ialah pengakuan hamba kepada Allah atas apa yang menimpanya, mengharapkan ridha Allah semata dan pahala-Nya. Kadang-kadang seseorang bertahan dengan gigih dengan menguatkan diri, dan tidak terlihat dari dia kecuali kesabaran.”
Dengan demikian, tidak ada orang yang bisa disebut sabar, jika sikapnya menolak atau mengelak berdiri bersama permasalahan yang tidak mengenakkan di hati. Orang yang sabar selalu memancarkan kehangatan bagi orang lain karena ia senantiasa pasrah pada Allah dalam kondisi apa pun.
Jika ditimpa musibah, dia tidak akan larut atau meratapi musibah yang menimpanya. Sedangkan jika diberi kesenangan atau kenikmatan, dia tidak akan lupa diri dan kufur nikmat kepada Allah.
Ali bin Abi Thalib mengumpamakan keutamaan sabar bagi keimanan seseorang itu bagaikan tubuh, dan sabar adalah kepalanya. la mengatakan, “Sabar bagi keimanan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap maka lenyap pulalah keimanan.” (HR. Baihaqi).
Walaupun secara sanad, atsar ini dinilai lemah, namun secara makna bisa diterima. Hal itu dikarenakan cakupan sabar yang demikian luas dalam Islam. la mencakup sikap seorang hamba dalam menghadapi berbagai perintah dan larangan serta berbagai keadaan yang dialami manusia di dalam kehidupan, di saat senang maupun susah.
Al-Quran membahasakannya dengan istilah “sabar yang baik”,
Allah SWT berfirman, “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.” (QS. Al-Ma’aarij [70]: 5).
Oleh karena itu, marilah kita mulai dari diri kita sendiri untuk senantiasa berlatih sabar. Yakni, dengan komitmen sebagai seorang hamba untuk selalu mengikuti apa yang dikehendaki oleh Allah SWT; selalu berjalan sesuai dengan perintah-Nya.
Inilah yang disebut sabar ma’allah, tingkatan sabar yang paling tinggi dan paling sulit. Dan Allah selalu bersama dengan orang-orang yang sabar (Al-Baqarah [2]: 153).

Selasa, 12 April 2011

Kita semua sangat merindukan perubahan, tentunya perubahan menjadi lebih baik. Tapi, seringkali kita mengalami perubahan yang sebaliknya, perubahan menjadi lebih buruk. Ironis memang. Tapi, begitulah kenyataannya. Ya, walaupun diri ini selalu berharap menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, tapi tetap saja masih jauh dari kualitas. Berbicara tentang keinginan, sepertinya mudah sekali. Berbicara tentang azam dan tekad, sepertinya semudah kita mengepalkan tangan, mengangkatnya ke atas dan berkata, "Allahuakbar !", tapi sesudahnya, lupa kembali, malas kembali. Keinginan, tekad, dan kesungguhan yang kuat adalah milik orang-orang hebat. Tapi, sungguh, amatlah tidak mudah untuk memilikinya.

Aku merasa diri ini seperti keledai. Ya, keledai. Terjatuh, bangun, tapi terjatuh dan terjatuh lagi di lubang yang sama. Terjaga, lupa, terjaga kembali. Tertawa, menangis, tertawa kembali. Sampai kapan ? Aku lelah menjalani hidup yang buram seperti ini. Tapi, jika kalimat melankolis ini diteruskan, mungkin paragraph ini akan berujung dengan kalimat pesimis. Tidak.

Berbicara tentang ide, di otak kita sebenarnya sudah banyak ide bersarang. Otak kita adalah komputer paling canggih di dunia ini. Ia bisa bebas menciptakan apa saja. Ia dengan mudah mengemukakan solusi-solusi yang jitu. Tapi, tidak semudah itu bagi diri ini mengaplikasikannya. Berbicara itu mudah, tapi melakukannya amatlah sulit. Beberapa waktu lalu tanpa sengaja pandanganku tertuju pada salah satu majalah Tarbawi yang bertajuk "Aneh, Ada Orang Konsisten Dengan Kebatilan". Subhanallah, aku merasa dikritik oleh tulisan itu. Malas, adalah kebatilan yang sering kulakukan pada diri ini, yang mungkin sepertinya kecil. Tapi, tidak ada yang kecil bila dilakukan terus-menerus.

Aku tersadar, diri ini sungguh banyak salah dan khilafnya. Sungguh, diri ini masih belum layak disebut sebagai seorang 'kader dakwah', belumlah layak. Menyesal, tentu. Tapi, apalah gunanya penyesalan jika tidak diiringi dengan pembenahan diri. Sepertinya pembenahan diri adalah kata yang cukup tepat untuk memulai perubahan itu. Yap, perbaikan, pembenahan, koreksi, reparasi, atau apapun namanya, tentunya harus ada yang dibuang, dikikis, dan ada pula yang mesti ditambah, ada yang harus diganti. Reparasi televisi misalnya, supaya TV itu bisa kembali normal, sang teknisi harus mengetahui terlebih dahulu, dimana kerusakan terjadi, kemudian memperbaikinya. Mungkin ada bagian tertentu yang harus diperbaiki, mungkin ada kabel putus yang harus disambung kembali, dan mungkin ada bagian khusus yang mesti diganti sehingga harus membelinya dengan harga yang cukup mahal. Setelah semuanya selesai, sang teknisi pun masih harus mengujicobanya apakah sudah bekerja dengan normal atau belum. Jika belum, mungkin ada kelalaian lain. Mungkin, di dalam proses reparasi, ada kabel yang salah tersambung, mungkin tegangan listriknya kurang, dan lain sebagainya.

Rumit memang. Dan pembenahan diri ini bahkan lebih rumit dari sekedar gambaran reparasi televisi. Tapi, kita tak punya pilihan selain berjuang dan berproses. Tentunya kita malu berkata, "Ah, aku tidak mampu. Aku hanya orang biasa. Aku tak bisa diandalkan", dan masih banyak kalimat pesimis lainnya jika mau dilanjutkan. Membenahi diri yang begitu rumit kerusakannya, pastilah sulit. Tapi, kita hanya punya dua pilihan, 'mundur dan kalah', atau 'maju dan memperoleh pencerahan'. Sekali lagi, semuanya tak semudah berkata-kata. Butuh keinginan, azam, dan tekad yang kuat nan membaja.

Saat ini, setidaknya aku sudah punya keinginan. Tak mau lagi diri ini menjadi manusia bermental keledai. Sungguh, dunia tak membutuhkan orang yang bermental seperti itu. Semoga hari-hari terakhir kedepannya ini, menjadi saksi perubahan diri, walau hari-hari kemarin banyak waktu terbuang sia-sia.,,,amin

Wallahu'alam bishawab.

cobaan itu didikan

Ia datang begitu saja
Begitu tiba-tiba
Seperti badai angin yang menghapus apa saja
Seperti guntur yang menggelegak
Seperti Tsunami
Yang menyakitkan hati
Yang menimbulkan derita yang menyayat
Yang menimbulkan luka

Aku tak tahu ini apa
Hanya saja aku yakin
Ini adalah cara Allah untuk mendidikku
Ini adalah cara Allah untuk menunjukkan kasih sayangNya

Walau berat...
'Kan ku coba tegakkan kepala
'Kan ku coba menahan air mata
'Kan ku coba melewatinya walau kegelisahan mendera

Walau sungguh berat...
'Kan ku coba pahami
Cobaan ini... adalah salah satu hal
Yang patut ku syukuri
Di antara nikmat-nikmat
Yang ku dapat hari ini

Ya Allah... Ya Rahman... Ya Rahiim...
Kuatkan hamba
Hamba tau, takkan Engkau memberi cobaan
Jika hamba tak sanggup memikulnya

Ya Rabb...
Bantulah hamba melihat jalan keluar
Melihat titik terang dari cobaan ini
Jangan biarkan hamba dihantui perasaan negatif
Jangan biarkan hamba berprasangka

Ya Aziiz, Ya Ghaffar...
Tenangkanlah hati hamba Ya Rabb...
Dalam kegamangan ini, hanya Engkaulah
Penenang hati...
*Yaa muqollibal quluub, tsabbit qalbi 'alaa diinika wa'alaa tho'aatika. Wa a'uudzubi kalimaatillahit taammaati minsyarri maa khalaq*

Senin, 28 Maret 2011

MAN JADDA WA JADA


Man Jadda Wa Jada, sebuah ungkapan yang mulai sering terdengar dalam kehidupan kita. Sepenggal mantra sakti yang memiliki makna yang kuat dan mampu memberikan semangat dalam kehidupan kita. “Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil”, begitulah arti ungkapan Arab ini. Man Jadda Wa Jada ini memanglah bukan hadits, tetapi sangatlah sesuai dan selaras dengan sunnatullah. Sebuah ketetapan yang mengisyaratkan manusia bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum selama kaum tersebut tidak berusaha merubahnya sendiri.