Rabu, 20 April 2011

kekuatan sabar

Secara etimologis, sabar berarti menahan, seperti kata, “Qutila fulanun shobr”, artinya, “si Fulan terbunuh dalam keadaan ditahan”. Oleh karenanya, seseorang yang menahan diri terhadap sesuatu dikatakan orang yang sabar.
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 45).
Menurut Ibnu Jarir, redaksi ayat itu memang memperingatkan Bani
Israel
, namun yang dimaksud bukan mereka semata. Ayat ini mencakup mereka dan orang-orang selain mereka.
Ibnul-Mubarak berkata dengan sanadnya dari Said bin Jubeir, “Sabar ialah pengakuan hamba kepada Allah atas apa yang menimpanya, mengharapkan ridha Allah semata dan pahala-Nya. Kadang-kadang seseorang bertahan dengan gigih dengan menguatkan diri, dan tidak terlihat dari dia kecuali kesabaran.”
Dengan demikian, tidak ada orang yang bisa disebut sabar, jika sikapnya menolak atau mengelak berdiri bersama permasalahan yang tidak mengenakkan di hati. Orang yang sabar selalu memancarkan kehangatan bagi orang lain karena ia senantiasa pasrah pada Allah dalam kondisi apa pun.
Jika ditimpa musibah, dia tidak akan larut atau meratapi musibah yang menimpanya. Sedangkan jika diberi kesenangan atau kenikmatan, dia tidak akan lupa diri dan kufur nikmat kepada Allah.
Ali bin Abi Thalib mengumpamakan keutamaan sabar bagi keimanan seseorang itu bagaikan tubuh, dan sabar adalah kepalanya. la mengatakan, “Sabar bagi keimanan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap maka lenyap pulalah keimanan.” (HR. Baihaqi).
Walaupun secara sanad, atsar ini dinilai lemah, namun secara makna bisa diterima. Hal itu dikarenakan cakupan sabar yang demikian luas dalam Islam. la mencakup sikap seorang hamba dalam menghadapi berbagai perintah dan larangan serta berbagai keadaan yang dialami manusia di dalam kehidupan, di saat senang maupun susah.
Al-Quran membahasakannya dengan istilah “sabar yang baik”,
Allah SWT berfirman, “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.” (QS. Al-Ma’aarij [70]: 5).
Oleh karena itu, marilah kita mulai dari diri kita sendiri untuk senantiasa berlatih sabar. Yakni, dengan komitmen sebagai seorang hamba untuk selalu mengikuti apa yang dikehendaki oleh Allah SWT; selalu berjalan sesuai dengan perintah-Nya.
Inilah yang disebut sabar ma’allah, tingkatan sabar yang paling tinggi dan paling sulit. Dan Allah selalu bersama dengan orang-orang yang sabar (Al-Baqarah [2]: 153).

Selasa, 12 April 2011

Kita semua sangat merindukan perubahan, tentunya perubahan menjadi lebih baik. Tapi, seringkali kita mengalami perubahan yang sebaliknya, perubahan menjadi lebih buruk. Ironis memang. Tapi, begitulah kenyataannya. Ya, walaupun diri ini selalu berharap menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, tapi tetap saja masih jauh dari kualitas. Berbicara tentang keinginan, sepertinya mudah sekali. Berbicara tentang azam dan tekad, sepertinya semudah kita mengepalkan tangan, mengangkatnya ke atas dan berkata, "Allahuakbar !", tapi sesudahnya, lupa kembali, malas kembali. Keinginan, tekad, dan kesungguhan yang kuat adalah milik orang-orang hebat. Tapi, sungguh, amatlah tidak mudah untuk memilikinya.

Aku merasa diri ini seperti keledai. Ya, keledai. Terjatuh, bangun, tapi terjatuh dan terjatuh lagi di lubang yang sama. Terjaga, lupa, terjaga kembali. Tertawa, menangis, tertawa kembali. Sampai kapan ? Aku lelah menjalani hidup yang buram seperti ini. Tapi, jika kalimat melankolis ini diteruskan, mungkin paragraph ini akan berujung dengan kalimat pesimis. Tidak.

Berbicara tentang ide, di otak kita sebenarnya sudah banyak ide bersarang. Otak kita adalah komputer paling canggih di dunia ini. Ia bisa bebas menciptakan apa saja. Ia dengan mudah mengemukakan solusi-solusi yang jitu. Tapi, tidak semudah itu bagi diri ini mengaplikasikannya. Berbicara itu mudah, tapi melakukannya amatlah sulit. Beberapa waktu lalu tanpa sengaja pandanganku tertuju pada salah satu majalah Tarbawi yang bertajuk "Aneh, Ada Orang Konsisten Dengan Kebatilan". Subhanallah, aku merasa dikritik oleh tulisan itu. Malas, adalah kebatilan yang sering kulakukan pada diri ini, yang mungkin sepertinya kecil. Tapi, tidak ada yang kecil bila dilakukan terus-menerus.

Aku tersadar, diri ini sungguh banyak salah dan khilafnya. Sungguh, diri ini masih belum layak disebut sebagai seorang 'kader dakwah', belumlah layak. Menyesal, tentu. Tapi, apalah gunanya penyesalan jika tidak diiringi dengan pembenahan diri. Sepertinya pembenahan diri adalah kata yang cukup tepat untuk memulai perubahan itu. Yap, perbaikan, pembenahan, koreksi, reparasi, atau apapun namanya, tentunya harus ada yang dibuang, dikikis, dan ada pula yang mesti ditambah, ada yang harus diganti. Reparasi televisi misalnya, supaya TV itu bisa kembali normal, sang teknisi harus mengetahui terlebih dahulu, dimana kerusakan terjadi, kemudian memperbaikinya. Mungkin ada bagian tertentu yang harus diperbaiki, mungkin ada kabel putus yang harus disambung kembali, dan mungkin ada bagian khusus yang mesti diganti sehingga harus membelinya dengan harga yang cukup mahal. Setelah semuanya selesai, sang teknisi pun masih harus mengujicobanya apakah sudah bekerja dengan normal atau belum. Jika belum, mungkin ada kelalaian lain. Mungkin, di dalam proses reparasi, ada kabel yang salah tersambung, mungkin tegangan listriknya kurang, dan lain sebagainya.

Rumit memang. Dan pembenahan diri ini bahkan lebih rumit dari sekedar gambaran reparasi televisi. Tapi, kita tak punya pilihan selain berjuang dan berproses. Tentunya kita malu berkata, "Ah, aku tidak mampu. Aku hanya orang biasa. Aku tak bisa diandalkan", dan masih banyak kalimat pesimis lainnya jika mau dilanjutkan. Membenahi diri yang begitu rumit kerusakannya, pastilah sulit. Tapi, kita hanya punya dua pilihan, 'mundur dan kalah', atau 'maju dan memperoleh pencerahan'. Sekali lagi, semuanya tak semudah berkata-kata. Butuh keinginan, azam, dan tekad yang kuat nan membaja.

Saat ini, setidaknya aku sudah punya keinginan. Tak mau lagi diri ini menjadi manusia bermental keledai. Sungguh, dunia tak membutuhkan orang yang bermental seperti itu. Semoga hari-hari terakhir kedepannya ini, menjadi saksi perubahan diri, walau hari-hari kemarin banyak waktu terbuang sia-sia.,,,amin

Wallahu'alam bishawab.

cobaan itu didikan

Ia datang begitu saja
Begitu tiba-tiba
Seperti badai angin yang menghapus apa saja
Seperti guntur yang menggelegak
Seperti Tsunami
Yang menyakitkan hati
Yang menimbulkan derita yang menyayat
Yang menimbulkan luka

Aku tak tahu ini apa
Hanya saja aku yakin
Ini adalah cara Allah untuk mendidikku
Ini adalah cara Allah untuk menunjukkan kasih sayangNya

Walau berat...
'Kan ku coba tegakkan kepala
'Kan ku coba menahan air mata
'Kan ku coba melewatinya walau kegelisahan mendera

Walau sungguh berat...
'Kan ku coba pahami
Cobaan ini... adalah salah satu hal
Yang patut ku syukuri
Di antara nikmat-nikmat
Yang ku dapat hari ini

Ya Allah... Ya Rahman... Ya Rahiim...
Kuatkan hamba
Hamba tau, takkan Engkau memberi cobaan
Jika hamba tak sanggup memikulnya

Ya Rabb...
Bantulah hamba melihat jalan keluar
Melihat titik terang dari cobaan ini
Jangan biarkan hamba dihantui perasaan negatif
Jangan biarkan hamba berprasangka

Ya Aziiz, Ya Ghaffar...
Tenangkanlah hati hamba Ya Rabb...
Dalam kegamangan ini, hanya Engkaulah
Penenang hati...
*Yaa muqollibal quluub, tsabbit qalbi 'alaa diinika wa'alaa tho'aatika. Wa a'uudzubi kalimaatillahit taammaati minsyarri maa khalaq*

Senin, 28 Maret 2011

MAN JADDA WA JADA


Man Jadda Wa Jada, sebuah ungkapan yang mulai sering terdengar dalam kehidupan kita. Sepenggal mantra sakti yang memiliki makna yang kuat dan mampu memberikan semangat dalam kehidupan kita. “Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil”, begitulah arti ungkapan Arab ini. Man Jadda Wa Jada ini memanglah bukan hadits, tetapi sangatlah sesuai dan selaras dengan sunnatullah. Sebuah ketetapan yang mengisyaratkan manusia bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum selama kaum tersebut tidak berusaha merubahnya sendiri.

Minggu, 27 Maret 2011

Kebahagiaan Ada Dalam Syukur dan Sabar


Kemana engkau akan mencari kebahagiaan hidup? Apakah dengan mendatangi tempat-tempat hiburan malam dapat memberikan kesejukan hati? Dengan meneguk minuman beralkohol serta berbelanja sepuas-puasnya di Mall-Mall? Benarkah segala kegelisahan akan hilang dan kegundahan akan berganti dengan rasa tenang? Pasti jawabannya tidak.
Semua itu tidak lain akan mendatangkan kegundahan baru. Semakin engkau bawa diri dan hanyut dalam bentuk seperti itu, maka engkau akan semakin remuk, perlahan tapi pasti tanpa engkau sadari. Masihkah engkau mengukur kebahagiaan itu dengan limpahan materi, kedudukan yang tinggi, dan nama yang sering disebut-sebut dan di puji? Memang engkau tampak mampu berjalan dengan tenang secara lahiriah, namun batinmu begitu tersiksa, terasa kosong, hampa, terasa tak bermakna.

Sadarilah saudaraku,Sesungguhnya ketenangan dan kebahagiaan yang engkau cari ada dalam kerelaan dan kesyukuran diri. Sebuah kesyukuran yang wujud dalam bentuk amal-amal sholehmu dan kelapangan hatimu atas setiap ketentuan yang menghampiri disetiap detik kehidupanmu. Berbahagialah engkau, jika setiap kenikmatan yang menghampirimu menjadikanmu semakin jatuh dalam sujud kesyukuran. Berbahagialah engkau, ketika musibah tiada henti menerpamu, namun engkau tetap tegar dan tak berkeluh kesah atasnya.

Tiada usaha kecuali semua dicoba bungkus dengan kain kesabaran. Dan tiada engkau melihat kedua-duanya kecuali merupakan sebuah bentuk kebaikan. Sungguh ajaib jika engkau mampu berlaku demikian. Dan hanya bagi seorang mukmin sajalah semua itu lebih mudah dilakukan.

SYUKUR DAN SABAR SIKAP TERBAIK DALAM MENJALANI HIDUP

Dalam mengarungi hidup, kita sering menghadapi persoalan, baik yang kecil maupun yang besar. Sesungguhnya, persoalan mendasar dari masalah hidup itu adalah cara kita memandang problematika hidup. Islam dengan segala ajarannya yang luhur sudah mengajarkan kita dua hal yaitu syukur dan sabar.
Tentang hal ini rasulullah bersabda : Dari Abi yahya Shuhaib bin Sinan RA. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya menakjubkan keadaan orang mu’min, karena segala urusannya sangat baik baginya, dan itu tidak akan terjadi kecuali bagi orang mu’min. Bila ia memperoleh kesenangan, ia bersyukur, yang demikian itu baik baginya. Dan bila ia tertimpa kesusahan ia juga bersabar, yang demikian itupun baik baginya”.
Syarah Hadits
Hadits diatas diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Zuhud Bab Urusan Orang Mu’min Semuanya Baik. Sanad hadits ini disandarkan kepada Abu Yahya Shuhaib bin Sinan RA. Ia digelari Abu Yahya oleh Rasulullah SAW. Konon ia juga bergelar Ar-Rumi, tentang ini ada yang mengatakan ia menjadi budak milik orang romawi sejak kecil, ia kemudian dibeli oleh Abdullah bin Jad’an, lalu dimerdekakan. Ada juga yang mengatakan Shuhaib ini lari dari Romawi saat ia dewasa. Ia kemudian dating ke kota Mekkah, bertemu Abdullah bin Jad’an dan mengikutinya. Ia masuk Islam ketika Rasulullah belum lama diangkat menjadi nabi dan Rasul, sehingga ia termasuk orang yang mula-mula masuk islam (as-shabiqunal awwalun). Shuhaib meriwayatkan 30 hadits dari Rasulullah. Ia wafat di madinah dalam usia 73 tahun pada tahun 38 atau 39 H dan dimakamkan di madinah.
Hadits ini mengandung beberapa pelajaran. Pertama, setiap orang yang mengaku beriman harus menyakini bahwa iman sempurna yang dipegangteguh olehnya berdampak kebaikan pada setiap gerak dan langkahnya. Ketika mendapatkan kebaikan yang membuatnya senang, ia pandai mensyukurinya. Dengan mengucapkan Al-hamdulillah dan bersyukur dengan segenap hati, kemudian bersyukur dengan menggunakan seluruh anggota tubuh, berbagi dengan orang lain dan bersyukur dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul_Nya.
“Barang siapa bersyukur, sesungguhnya syukurnya itu untuk dirinya sendiri” (Q.S. An-Naml : 40).
Begitu juga ketika ditimpa kesusahan, ia menyikapinya dengan sabar. Sabar yang terbaik adalah, saat kesusahan itu tiba dan menghenyakkan batin serta perasaannya, ia menyikapinya dengan sabar. Rasul pernah bersabda “Sesungguhnya sabar itu adalah saat hentakan pertama.” Suatu ketika sayyidina Ali bertempur dalam duel yang hebat, orag kafir yang dilawannya terdesak dan terjatuh, sayyidina Ali berkesempatan menghabisinya. Saat ia mengulurkan pedangnya kearah musuh, orang kafir itu meludahinya. Ternyata bukannya marah sayyidina Ali malah mengurungkan niatnya dan bersabar. Beliau khawatir jihadnya jadi tidak bermakna apa-apa, karena terdorong rasa kesal dan amarah.akibat diludahi.
Itulah karakter orang mu’min yang sempurna, ia mampu menunjukan sikap sabar meskipun menghadapi situasi yang sangat menyakitkan dirinya.


“Bersabarlah dengan kesabaran yang baik (Q.S. Al 5)

ANTARA SABAR DAN BERSYUKUR

banyak manusia yg punya harta berlimpah dan tidak mensyukurinya,,,,banyak juga manusia yg tidak sabar ketika dia sedang di uji oleh sang Khalik,,,jadi mana diantara keduanya yg lebih tinggi??,,,sabar ataukah bersyukur??

Marilah kita melihat substansi syukur dan sabar berikut namanya masing-masing. Setiap nama tentu mengarah kepada sesuatu, sebab ia terambil dari sesuatu tersebut hingga menjadi ciri darinya.

Yang dimaksud syukur adalah menyadari karunia yang Allah berikan pada dirinya, sementara yang dimaksud dengan sabar adalah tetap dalam kedudukannya bersama Tuhan.

Syukur merupakan substansi iman, sementara sabar merupakan substansi Islam. Ketika seorang hamba merasa tenang bersama Tuhan, maka dia disebut mukmin. Namun ketika menyerahkan diri sebagai hamba, maka dia disebut muslim. Keduanya terwujud dalam waktu bersamaan, sebab kalbu dalam kondisi bergerak dan bingung mencari Tuhan. Ketika mendapat rahmat, cahaya dan petunjuk, maka kalbu menjadi tenang dan stabil sehingga disebut beriman. Sebaliknya, ia menjadi gelisah dan gusar ketika cemas terhadap sesuatu. Tatkala rasa cemasitu hilang, maka kalbu kembali tenang hingga disebut beriman. Kata Aamana yang berarti beriman dalam bahasa Arab berasal dari pola Af’ala. Seorang hamba beriman kepada Tuhan yang dipatuhi dan ditaati. Dengan begitu, dia menjadi seorang muslim dalam pengertian menyerahkan dirinya untuk patuh kepada Tuhan. Disinilah, dia disebut mukmin sekaligus muslim. Kedua nama tersebut melekat padanya dalam waktu yang bersamaan. Kemudian dia diperintah untuk membuat pengakuan agar kehormatan, darah dan hartanya terjaga dari makhluk.

Siapa yang menegakkan kehormatan tersebut akan diberi pahala dan siapa yang melanggar akan diberi hukuman. Tuhan juga akan melanggar akan diberi hukuman. Tuhan juga akan memberikan apa yang menjadi haknya. Selanjutnya, dia harus memenuhi konsekuensinya sebagai seorang mukmin dan muslim sepanjang hidupnya. Dia pun meletakkan dua hal di hadapannya tanpa ada yang ketiga.

Satu hal berupa apa yang Dia perbuat terhadapmu, dan satu hal lagi berupa apa yang kamu perbuat. Yang Dia perbuat terhadapmu adalah berbagai ketetapanNya atas kondisimu berupa mulia dan hina, miskin dan kaya, sehat dan sakit, aman dan cemas, nikmat dan sengsara, lapang dan bencana, dicintai dan dibenci.

Yang harus kamu lakukan dalam menghadapi berbagai kondisi di atas adalah kalbumu harus menerima semua perbuatanNya dengan penuh ridha’. Demikian pula dengan lisanmu. Jika tidak mampu menghadapi hal tersebut dengan ridha karena syahwat yang ada pada dirimu, maka kamu harus bersabar dengan tetap teguh untuk tidak berbuat maksiat kepadaNya.

Hal lain yang harus kamu perbuat berupa perintah dan larangan. Kamu harus mengerjakan kewajiban yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang. Kamu harus memenuhi perintah dan larangan tersebut. Dengan begitu, kamu telah menyerahkan diri dan hartamu sebagai bentuk pengabdian kepadaNya. Apabila kamu bisa menutup hidupmu dengan cara demikian dan menemui Tuhan dalam posisi sebagai hamba, maka itu berarti kamu telah betul-betul menjadi mukmin, dan muslim. Dosa dan hisab telah gugur darimu. Sebaliknya, siapa yang hanya memenuhi sebagiannya serta mencampur antara kebaikan dan keburukan, maka dia wajib menjalani hisab sesuai dengan kadar percampurannya. Demikian penjelasan yang cukup memadai tentan iman dan Islam. Ini menjadi kata akhir yang moderat dari pendapat berbagai pihak yang berseberangan. Sebagian memang berpendapat bahwa Islam dan iman adalah satu, sementara yang lain berpendapat bahwa keduanya berbeda.

Kita kembali kepada persoalan syukur dan sabar. Dari segi bahasa, syukur adalah terbukanya kalbu hingga karunia Tuhan tampak padamu. Di dadamu, karunia Allah selalu terlihat pda sesuatu yang Dia berikan padamu. Diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri bahwa Musa bertanya, “Tuhan, bagaimana cara Adam bersyuku kepadaMu ?” Tuhan Menjawab, “Dia mengetahui hal itu bersumber dari-ku, itulah bentuk syukurnya.”

Pengetahuan berasal dari kata ‘alamat [tanda]. Ia adalah gambaran atau bayangan tentang-Nya. Dada meruupakan wadah kalbu, sama seperti rumah di dalamnya, ada lentera terang yang bergantung di dinding. Jika kamu meletakkan jari-jarimu di antara lampu dan dinding, maka pasti tampak bayang-bayang di atas dinding. Telunjukmu tersebut akan tampak oleh matamu. Ia bisa melihat jumlah jari-jarimu, entah bertambah atau berkurang, dan juga bisa melihat bentuk wajahmu. Demikan pula dengan kalbu. Sesuatu yang sering diingat kalbu akan terlihat olehmu. Bayangannya akan tampak. Namun, jika kamu mengingat Tuhan, maka bayanganNya tidak nampak, sebab yang bersinar adalah cahayaNya, sehingga seluruh dada menjadi terang laksana cermin. Jika cermin tersebut bertemu dengan cahaya matahari, maka ia menjadi terang dan rumahpun penuh terisi oleh cahayanya. Dmeikianlah gambaran tentang syukur. Namanya menunjukkan sifatnya.

Sifat dan gambaran syukur adalah bahwa ia dimulai dengan mengenal nikmat, karena mengenal nikmat adalah jalan untuk mengenal Sang Pemberi nikmat. Oleh karenanya, engertian syukur sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Al Qayyim dalam Madaarij Al Salikin ada tiga yaitu (1) mengenal nikmat, (2) menerimanya, dan (3) memujinya. Mengenal nikmatterwujud lewat rasa papa dan butuh kepadanya. Memujinya adalha dengna memuji Zat Yang Memberi nikmat yang terwujud dalam dua bentuk, yaitu bersifat umum dan bersifat khusus. Yang bersifat umum adlah menyadariNya sebagai Zat Yang Maha Pemurah dan banyak memberi, sementara yang bersifat khusus adalah menceritakan nikmat Allah yang diberikan lewat dirinya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah, “Adapun yang terkait dengan nikmat Tuhanmu, maka ceritakanlah.”

Terkait dengan sabar, ia terambil dari kata Ashbaar, yang bermakna menjadikan sesuatu sebagai obyek atau meninggikan sesuatu untuk menjadi sasaran busur panah. Jadi, sabar terwujud dalam bentuk keteguhan amba untuk menerima panah ketentuan Tuaan bagaikan sasaran busur panah manusia yang tidak miring ke kiri atau ke kanan. Ia tidak bergeser dari tempatnya, sebab syarat untuk menjadi hamba Tuhan adalah percaya dan pasrah.

Kepasrahan tersebut berarti menerima semua ketentuanNya. Apabila dia dihadapkan pada sebuah ketentuan, lalu meninggalkan tempat, lari dan menentang Tuhan karena ketentuan yang menimpanya berarti dia tidak siap menerima.

Dengan demikian, syukur adalah menyadari nikmat dan karunia yang ada dengan cara memujiNya, sementara sabar adalah keteguhan dan ketabahan diri untuk tetap berada di hadapan Tuhan sebagai sasaran tembak yang dengna itu Dia memujimu. Jadi, di dalam syukur ada menampakkan pujian terhadapmu. Syukur adalah nikmat Tuan tampak padamu, sehingga kamu menyanjungNya dan mengucapkan pujian untukNya. Al Hamd yang berarti pujian, dan Al Madh yang berarti sanjungan memiliki makna yang sama. Hanya saja, Al Hamd tertju kepada kreasiNya, sedangkan Al Madh tertuju kepada sifatNya.

Selanjutnya, sabar adalah ujian untuk melihat kebaikan dan keburukanmu. Dengan cara seperti itu, akan terlihat apakah kamu tetap teguh dihadapanNya dan apakah kamu siap menjadi sasaran tembakNya. Dari sana pula akan tampak kejujuranmu. Dia memujimu untuk melihat bahwa dirimu benar-benar bersyukur. Allah berfirman, “dalam semua kejadian itu terdapat bukti kekuasaan Allah bagi orang yang selalu sabar dan bersyukur.” [QS Ibrahim (14) : 5]

Pada ayat di atas, Allah mengungkap kata sabar dengan pola fa’al dan mengungkap kata syukur dengan pola fa’ul. Dia mendahulukan sabar sebelum syukur, karena sikap sabar memperlihatan rasa syukur. Syukur tersebut tersimpan di dalamnya, sebagaimana api tersembunyi di dalam batu. Ujian ibarat sebatang kayu yang memunculkan api lewat bara. Ketika batu tersebut dinyalakan, maka tampaklah api yang tersembunyi tadi.

Demikian pula dengan syukur. Syukur adalah menyadari nikmat, mengungkap nikmat, menghargai pemberian, tunduk padaNya, tawadhu’ atas keagunganNya, dan disertai kalbu yang senang. Ini semua merupakan rahasia yang tersembunyi di dalam kalbu.

Ketika diberi ujian, maka dia tetap bersabar. Dia diuji guna mengungkap kebaikan yang ada dalam dirinya. Kemudian manakala ridha, maka itu berarti dia menerima ujian tersebut. Dia dipukul dengan kayu terbesar agar semua api menyala.

Demikianlah perumpamaan syukur dan sabar. Syukur adalah kalbu senang menerima nikmat Tuhan. Dialah Tuhan yang disanjung olehmu. Ketika kamu diberi ujian dan bersabar, maka kamu yang akan disanjung bersama Tuhan. Apabila Dia mempekerjakan dirimu pada sesuatu yang mengandung sanjungan terhadap Tuhan secara murni dan tulus, maka hal itu lebih baik bagimu ketimbang kamu dipekerjakan pada sesuatu yang mengandung sanjungan terhadapmu dan sanjungan terhadap Tuhanmu, karena sanjungan adalah bagian dari imbalan. Jika kamu diberi imbalan di dunia, maka itu berarti bagianmu di sana akan berkurang.

Salah satu kedudukan syukur adalah Allah memuji para nabi dan orang-orang pilihanNya, serperti Nuh dan Ibrahim, sebagai orang yang bersyukur. Tentang Nabi Nuh AS, Allah berfirman, “Dia adalah hamba yang banyak bersyukur.” [QS 17 : 3]
Lalu tentang Nabi Ibrahim AS, Allah berfirman, “Dia telah memilih dan memberikan petunjuk padanya.” [QS 16 : 12]
Tentang para rasul lainnya, Allah berfirman, “semuanya termasuk orang yang sabar.” [QS 21 : 85]
Allah menyebutkan sikap syukur khusus untuk kedua nabi tersebut, padahal semua nabi bersyukur. Allah juga menyebutkan sikap sabar secara umum, padahal mereka semua bersabar.

Orang yang bersyukur, apinya telah tampak sehingga tidak perlu lagi menyalakan kayu. Berbeda dengan orang yang sabar. Api orang yang bersabar masih perlu dinyalakan dengan kayu.

Memang ada di antara mereka yang apinya mudah menyala, karena batinnya telah kering dari syahwat. Namun ada pula yang sukar menyala, karena batinnya basah oleh syahwat. Demikian pula batu dalam kondisi lembab dan dipukul dengan kayu, maka ia tidak akan menyala.

Salah satu kedudukan syukur adalah Allah SWT menyebutkannya dalam Al Quran dan berkata, “Hendaknya kamu bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” [QS 31:14]
Terkait dengan sabar, Allah berkata, “Sabarlah terhadap ketentuan Tuhanmu.” [QS 52:48]
“Jika kalian bersabar, maka hal itu lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” [QS 16:13]
Allah menjelaskan bahwa syukur adalah untukNya, sementara sabar adalah untuk mereka yang bersabar. Tentu saja sangat jauh perbedaan antara keduanya. Yang pertama untukNya dan yang kedua untukmu.

Di antara kedudukan syukur adalah Dia menyebutkannya dengan berkata, “sedikit sekali dari hambaKu yang bersyukur.” [QS 34:13]
Pasalnya, yang beramal untuk Tuhan sangat sedikit. Sebagian besar hamba beramal untuk diri mereka sendiri dengan mencari dan mengharap ridha Allah. Sangat sedikit orang yang beramal untukNya sebagai bentuk rasa syukur.

Kita juga mengetahui bahwa Nabi SAW berdiri melakukan shalat malam hingga kedua kaki beliau bengkak padahal dosa-dosa beliau sudah diampuni. Lalu ketika beliau ditanya, “Rasululah, anda masih melakukan hal ini, padahal doa anda yang lalu dan yang akan datang telah diampuni ?” Beliau menjawab, “Tidakkah aku layak menjadi hamba yang bersyukur ?.”

Syukur adalah perbuatan orang-orang merdeka, sementara sabar adalah perbuatan para hamba. Jadi, dimulai dari menghamba baru kemudian merdeka. Rasulullah SAW beramal sebagai bentuk rasa syukur setelah Dia memerdekakan dan mengampuni semua dosanya. Beliau memulai dengan bersabar, kemudian bersyukur.

Setiap orang yang diuji juga selalu dimulai dari yang paling ringan hinga yang paling berat. Ujian untuk bersabar lebih mudah ketimbang ujian untuk bersyukur. Bukankah Rasulullah SAW bersabda “Aku lebih khawatir terhadap ujian kelapangan yang menimpa kalian ketimbang ujian kesulitan.” Menanggapi hadis ini, Abd Al Rahman berkata, “Kami diuji dengan kesulitan dan kami bisa bersabar. Lalu kami diuji dengan kemudahan, ternyata kami tidak bisa bersabar.”

Mereka yang diuji lalu keluar tanpa mendapat kesulitan lebih tinggi derajatnya daripada mereka yang keluar dari kesulitan. Demikian pernyataan Nabi Isa AS, “Tidak ada hamba yang bertakwa dan tidak ada orang merdeka yang mulia.”

Penjelasan bahwa hamba terdiri atas dua jenis.

Pertama, hamba yang dilahirkan dalam keadaan merdeka dan mulia. Dia bebas dari syahwat, memiliki bentuk tubuh yang baik, akhlak yang bagus, jiwa yang suci, dan asal tanah yang lembut. Bukankah tanah yang semacam itu bisa dibentuk dan bisa memanjang ? siapapun yang tercipta dari jenis tanah tersebut, maka tabiatnya akan lembut, mulia dan merdeka.

Kedua, hamba yang dilahirkan oleh ibunya dalam kondisi buruk, terlaknat, dan penuh syahwat. Hal itu disebabkan asal tanahnya yang keras dan kering. Akhlaknya kotor dan jiwanya kasar. Manakala iman dan rasa takut terhadap Tuhan menyelimutinya, maka dia akan tunduk. Dia juga menjadi hamba yang bertakwa. Hanya saja pengabdiannya tidak betul-betul murni, tetapi masih bercampur. Dia masuk ke dalam tingkat pertengahan, sementara yang pertama cekatan dalam berbuat kebaikan dengan ijin Allah. Itulah karunia yang besar. [QS Al Fathir (35) : 32]

Dia beramal dengan bersabar dalam ketaatan dan bersabar dalam meninggalkan maksiat. Sepanjang hidupnya, dia selalu dalam kondisi terbebani. Sementara golongan pertama melewati tingkatan ini menuju tingkatan makrifat. Tempatnya berada di dekat Tuhan dan di hadapan pintuNya. Dia beramal berlandaskan rasa syukur, cinta dan rindu.

Dia berada di kebun agama. Beban-beban agama tidak lagi terasa baginya. Allah berfirman, “Sangat sedikit hambaKu yang bersyukur” [QS 34:13]
Dia tidak mengatakan, “sangat sedikit hambaKu yang bersabar.” Yang paling sedikit dari sertiap golongan itula yang paling mulia. Bukankah mereka yang mukmin hanya sedikit bila dibandingkan yang kafir ?. Yang bertakwa juga hanya sedikit bila dibandingkan orang-orang mukmin yang ada. Para nabi hanya segelintir bila dibandingkan jumlah para wali. Begitu juga dengan para rasul. Mereka hanya sedikit bila dibandingkan dengan jumlah para nabi.

Di antara kedudukan syukur lainnya adalah bahwa Allah berfirman, “Kami akan memberi balasan kepada mereka yang bersyukur.” [QS 3:145]
Dia juga berfirman, “Mereka yang bersabar akan dipenuhi upah mereka tanpa hisab.” [QS 39:10] Di sini, Allah menyebut kata upah karena sebagai ganti dari kesulitan yang dialami oleh orang-orang yang bersabar. Mereka tegar menghadapi kesulitan dengan mengharap imbalan, sehingga Allah memberikan upahnya.

Beberapa dengan orang yang bersyukur kepadaNya. Mereka beribadah dengan mengorbankan diri sehingga Allah menyebut kata balasan. Balasan berarti imbalan yang diberikan oleh majikan kepada hambanya. Jika orang yang bersyukur mendapat balasan seperti itu, maka orang yang sabar bekerja dan beramal dengan mengharap imbalan dan upahnya diberikan di surga tanpa hisab. Orang yang sabar diuji dan bersikap tegar sehingga diberi upah, sementara orang yang bersyukur selalu memberi, bersikap tawadhu dan murah hati, sehingga diberi balasan. Upah orang yang sabar berupa surga sebagai pengganti dari dirinya yang telah diuji, sementara orang yang bersyukur dibalas dengan kehormatan dan kemuliaan. Tentu saja sangat jauh perbedaan antara keduanya. Yang satu berupa surga dan yang lainnya berupa kemuliaan dari Tuhan.

Surga menjadi ganti dari jiwa yang pasrah kepada Tuhan, tegar dan mendapat ujian dalam menjalani kepasrahan. Di sisi lain, kedekatan dengan Tuhan menjadi pengganti dari kalbu yang memutuskan berbagai sebab dalam menuju Penciptanya. Ini adalah amal yang didasarkan pada pengorbanan jiwa, tanpa melihat kepada upah yang ada, sementara orang yang sabar beramal untukNya dalam bentuk yang telah dijelaskan sebelumnya.

Salah satu kedudukan syukur adalah bahwa lawannya berupa kufur [QS 14:7], sementara lawan sabar adalah sikap mengeluh [QS 14:21]. Kufur dimurkai dan sikap mengeluh berdosa, karena tidak bersyukur berarti lalai terhadap Tuhan dan tidak memujiNya, sementara tidak bersabar berarti ia telah tergoyahkan oleh kesulitan. Dengan demikian, seseorang mengeluh karena musibah yang melemahkannya.

Di antara kedudukan syukur lainnya adalah bahwa Allah berfirman, “jika kalian bersyukur, pasti Aku akan tambahkan untuk kalian.” [QS 14:7] Tambahan atas sesuatu berasal dari jenis yang sama. Dalam hal ini, Allah menjadikan tambahan atas syukur berupa syukur yang lain. Pasalnya, ketika mata ini melihat karunia Tuhan, maka Dia akan menyegerakan balasan untuknya di dunia, yaitu Dia menambahkan cahaya padanya. Itulah tambahan atas syukur yang ada sehingga ia bertambah melihat. Tambahan cahaya tersebut menjadi pendukung baginya untuk berjalan menuju Allah.

Ahli Sabar dan Ahli Syukur

Orang yang sabar berdiri di tempatnya sambil dilempari oleh berbagai kesulitan agar tetap tegar dan memperlihatkan ketulusannya dalam menyerahkan diri. Dengan begitu, kedudukannya naik dan pengabdiannya tulus. Di pihak lain, orang yang bersyukur akan mendapat berbagai karunia dan pemberian agar mendekat sehingga keinginannya menjadi bersih. Orang yang bersyukur mengayunkan tangannya sambil mendekat sebagai rasa hormat, cinta dan rindu kepada Tuhan atas apa yang Dia perbuat kepadanya, sementara orang yang sabar tetap di tempatnya sebagai bentuk kesetiaan kepada Tuhannya.

Orang yang bersyukur menundukkan dirinya dengan kebajikan sampai merasa malu sehingga dia kembali kepada Tuhan, sementara orang yang sabar menundukkan dirinya dengan ujian sampai dia mudah dikendalikan sehingga dia pun bisa taat kepada Tuhan.

Orang yang bersyukur kembali kepada Tuhan dalam kondisi gembira, sementara orang yang sabar kembali kepada Tuhan dalam kondisi sedih. Syukur adalah kalbu yang gembira terhadap Allah, sementara dalam sabar ada rasa bingung dan kecewa. Syukur adalah lewat karunia dan nikmat, sementara sabar adalah lewat kesulitan dan kesukaran.

Syukur adalah menyaksikan kebaikan, karunia, kemurahan, kasih sayang dan rahmatNya. Sementara sabar adalah menyaksikan ketentuanNya. Syukur adalah menyaksikan karunia Allah terhadap hambaNya, sementara sabar adalah menuntut kejujuran dari dirinya. Syukur ibarat obat-obatan kimia yang dituangkan kepada emas sehingga menjadi emas, sementara sabar ibarat api yang membersihkan emas serta membersihkan karatnya akibat banyak dibakar tanpa campuran kimia. Syukur adalah menyaksikan segala sesuatu sebagai milikNya, sedangkan sabar adalah menyerahkan segala sesuatu kepadaNya setelah tertahan untuk dirinya sendiri. Selanjutnya, Dia mengambil segala sesuatu itu dari orang itu.

Dalam syukur, kita menyaksikan karunia yang berasal dari Allah. Dalam sabar, kita melihat Allah mendapatinya dalam posisi yang benar semata. Syukur adalah keimanan hamba bahwa segala sesuatu adalah milikNya dan berasal dariNya, sementara sabar adalah keimanan hamba bahwa dirinya adalah milikNya. Syukur adalah kedudukan yang tidak mungkin didapat penduduk neraka di neraka, sebab syukur hanya untuk penghuni surga. Berbeda dengan sabar. Ia adalah kedudukan yang bisa dicapai penduduk neraka, meskipun kesabaran itu tidak bisa diterima oleh mereka.

Syukur kekal untuk penghuni surga selama-lamanya, sementara sabar menghadapi ujian dan keselamatan bersumber dari karuniaNya. Karunia berasal dari keindahanNya, sementara ujian berasal dari kekuasaanNya dan kekuasaan itu berasal dari kerajaanNya. Di akhirat nanti keindahanNya diberikan kepada penghuni surga, sementara kekuasaannya ditujukan bagi penghuni neraka.

Lihatlah, darimana keselamatan bersumber dan darimana bencana bersumber ?
Syukur menyertai kalbu yang gembira karena kemurahan Allah, sementara sabar menyertai kalbu yang pedih karena menerima ketentuan Allah. Kegembiraan adalah tunggangan kalbu dalam berjalan menuju Allah SWT, sementara kepedihan adalah lautan yang diam sehingga membutuhkan kapal dan angin yang baik untuk
berlayar.